Jumat, 10 Januari 2014

 Pemandangan Gunung Sumbing 3.340 mdpl Ketika Dilihat Dari Kab. Ambarawa - Jawa Tengah






MAKALAH POLITIK HUKUM
Politik Hukum Dalam Pembentukan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum


ANANTA REFKA NANDA                       8111411091






FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2013

BAB I.
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Makna dari “kedaulatan berada di tangan rakyat” adalah bahwa rakyat memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin yang akan membentuk pemerintahan guna mengurus dan melayani seluruh lapisan masyarakat, serta memilih wakil rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Perwujudan kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui Pemilu secara langsung sebagai sarana bagi rakyat untuk memilih wakilnya.
Pemilu atau Pemilihan Umum merupakan pesta demokrasi yang mana masyarakat memilih wakil-wakilnya di parlemen nanti sebagai perwkilannya. selain itu dalam perkembangannya Indonesia yang merupakan Neagra hukum Pancasila yang memiliki konstitusi yang jelas dalam mengatur Pemilu seperti diatur dalam pasal 22 E ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Dan dalam ayat (2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam perkembanagannya aturan Pemilu diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum  Anggota DPR, DPD, DAN DPRD. Dalam undang-undang ini  mengatur lebih dalam serta spesifik mengenai dasar hukum dan teknis dalam melakukan pemilu nantinya.
Dari sini mulai muncul sebuah pertanyaan yang mendasar mengenai apakah dalam pembentukan undang-undang ini apakah sarat dengan muatan politiknya bagi partai politik untuk mengamankan posisinya di kursi legislative hal ini senada dengan berbagai aturan-aturan baru yang banyak mennuai kontroversi di kalangan elit senayan.
Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum dan menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil, dan jujur. Sistem keadilan pemilu dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi ketidakberesan pada pemilu, sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi ketidakberesan tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran.1 Sebagai salah satu prasyarat dalam mencapai keadilan pemilu tersebut adalah melalui penyusunan kerangka hukum harus disusun sedemikian rupa sehingga tidak bermakna ganda, dapat dipahami dan terbuka, dan harus dapat menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis.
Dan dalam teori mengenai politik hukum yang dikemukan oleh Moh. Mahfud MD sebagai berikut :
1.    Politik hukum nasional harus selalu mengarah pada cita-cita bangsa yakni masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan pancasila.
2.    Politik hukum nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan nasional harus ditujukan untuk mencapai tujuan negara yakni :
a)      Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia
b)      Memajukan kesejahtraan umum
c)      Mencerdaskan kehidupan bangsa
d)      Melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social.
Itu tadi paparan mengenai latar belakang masalah dari dari pengesahan UU No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dari sini maka akan muncul sebuah pertanyaan besar bagaimana munculnya Undang-undang ini.




1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana penerapan politik hukum untuk UU No. 8 Tahun 2012 ?
2.      Apakah dengan disahkan UU No. 8 Tahun 2012 banayak mengalami perubahan dalam hal demokrasi ?






















BAB. II
PEMBAHASAN
Titik tolak politik hukum adalah visi hukum berdasarkan visi atau mimpi itulah, kita format bentuk dan isi  hukum dianggap cappble untuk mewujudkan visi tersebut. dalam istilah ilmiah, visi menunjukkan pada tujuan ideal yang ingin dicapai. Tentang tujuan itu sendiri, tiap bangsa itu sendiri, tiap bangsa, tiap negara dan tiap masyarakat tentu memiliki konsep berbeda.
Hukum dalam politik hukum, pertama-tama adalah merupakan instrument ia merupakan alat yang dipakai untuk mewujudkan tujuan. Kedua hukum dalam konteks politik hukum adalah pembawa misi. Ia menjadi wadah yang menampung segala keinginan dan aspirasi mengenai beberapa hal  yang ingin ditata dan dicpaai. Wadah yang namanya hukum ini penting, karena ia memeliki keunggulan disbanding dengan wadah lain. Dalam misi memperbaiki keadaan dan mencapa tujuan, ia dibekali kekuatan pemaksaan didukung dengan otoritas yang sah sah dan idealnya terumus secara jelas-tegas sehingga evektifitasnya terjamin (Bernard L. Tanya 2011 : 11 )
Politik hukum untuk UU No. 8 Tahun 2012 akan terlihat sebagai instrument pembentukan undang-undang ini dari berbagai sudut pandang, seperti peurbahan yang mendasar dari seetiap perubanhan Undang-undang mengenai Pemilu seperti dalam hal sebagai berikut :
1.                     Peserta dan persyaratan mengikuti pemilu
Terkait dengan persyaratan mengikuti pemilu, bagi partai Politik Peserta Pemilu pada pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu pada Pemilu berikutnya. Ketentuan ini menegaskan bahwa partai yang mencapai angka parliamentary threshold (ambang batas) 2,5% pada pemilu 2009 langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu 2014 dengan alasan partai politik tersebut sudah membuktikan  memperoleh dukungan rakyat. Pansus Pemilu menganggap ambang batas merupakan legal policy pembuat undang-undang dalam rangka mencapai tujuan negara.
Sedangkan partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara pada pemilu sebelumnya atau partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan yang lebih berat dari UU Pemilu sebelumnya. Persyaratan tersebut antara lain: berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; memiliki kepengurusan di seluruh provinsi; memiliki kepengurusan di 75% (jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan; memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat; mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu; dan menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik kepada KPU (Pasal 8 ayat (2)).

2.       Pencalonan
Terdapat penambahan ketentuan yaitu kewajiban mengundurkan diri sebagai kepala daerah atau wakil kepala daerah, bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah yang ingin maju sebagai calon anggota DPR, DPD, atau DPRD. Selain itu, ketentuan tentang keterwakilan perempuan masih menggunakan ketentuan lama pada UU No. 10 Tahun 2008 yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota disusun berdasarkan nomor urut. Daftar calon memuat paling sedikit 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan, di mana dalam daftar bakal calon tersebut, setiap 3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon.
Namun terkait keterwakilan perempuan, dalam UU No. 8 Tahun 2012 terdapat penambahan pengaturan pada penjelasan Pasal 56 ayat (2) yang menyebutkan: Dalam setiap 3 (tiga) bakal calon, bakal calon perempuan dapat ditempatkan pada urutan 1, atau 2, atau 3 dan demikian seterusnya, tidak hanya pada nomor urut 3, 6, dan seterusnya. Ketentuan ini dianggap sebagai penguatan dan penegasan bahwa calon perempuan tidak selalu harus ditempatkan pada nomor buncit (ketentuan ini seakan menegaskan tentang signifikannya peran nomor urut dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak sekalipun). Selain itu, proses pengajuan nama bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam UU Pemilu baru ini diatur lebih panjang prosesnya, yaitu dilaksanakan 12 bulan sebelum hari pemungutan suara (Pasal 57 ayat (2)).

3.       Kampanye
UU No. 8 Tahun 2012 memberikan pengaturan yang tegas bahwa kampanye melalui media massa cetak dan media massa elektronik dikategorikan sebagai “iklan kampanye”, yang mana pelaksanaannya sama dengan kampanye dalam bentuk rapat umum, yaitu dilakukan (hanya) selama 21 hari dan berakhir sampai dengan dimulainya masa tenang (3 hari sebelum hari pemungutan suara). Periode waktu kampanye dalam UU baru ini tidak berubah, tetap berlangsung setelah 3 hari setelah penetapan peserta pemilu dan berakhir 3 hari sebelum hari-H pemungutan suara (kurang lebih selama 9 bulan).

4.      Pemungutan dan Penghitungan Suara
Terdapat perubahan cara pemberian suara yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012 ini. Jika sebelumnya pada Pemilu 2009, pemilih menandai dengan tanda contreng, maka untuk pemilu mendatang pemberian suara untuk pemilu anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat suara (Pasal 154).

5.       Perselisihan Hasil Pemilu
Tidak ada terobosan maupun pengaturan baru yang substantif dalam UU No. 8 Tahun 2012 terkait dengan penananganan perselisihan hasil pemilu (diatur dalam Pasal 273). Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional, Peserta Pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi. Peserta Pemilu disini tentu saja tetap merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 26 UU No. 8 Tahun 2012 yang menyebutkan bahwa Peserta Pemilu adalah partai politik untuk Pemilu anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; dan perseorangan untuk Pemilu anggota DPD. Dengan demikian, Undang-Undang baru ini “tetap” tidak memberi peluang bagi (perseorangan) calon anggota legislatif untuk mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.

6.      Penetapan Hasil Pemilu, Perolehan Kursi, dan Calon Terpilih
Dalam ketentuan Pasal 208 yang berbunyi “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Lalu Penjelasan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 berbunyi: yang dimaksud dengan “jumlah suara sah secara nasional” adalah hasil penghitungan untuk suara DPR.

Pasal ini setidaknya menyangkut 2 hal, yaitu pertama, ada kenaikan angka ambang batas pada Pemilu 2014 nanti. Jika pada Pemilu 2009 angka ambang batas ditetapkan pada angka 2,5%, maka Pemilu 2014 naik menjadi 3,5%. Kedua, jika pada Pemilu 2009 lalu ambang batas hanya diterapkan untuk Pemilu Anggota DPR, maka Pemilu 2014 angka ambang batas diberlakukan secara nasional, tidak berjenjang. Artinya pada Pemilu 2014, setiap partai politik peserta pemilu harus memperoleh sekurang-kurangnya 3,5% suara sah untuk DPR RI, untuk dapat diikutsertakan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Sehingga, meskipun suatu partai memperoleh lebih dari 3,5% suara sah di pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, akan tetapi kalau perolehan suaranya untuk pemilu anggota DPR RI kurang dari 3,5%, maka partai tersebut secara otomatis tidak bisa ikut dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota (suaranya dianggap hangus/terbuang/wasted votes).
Namun sebaliknya, jika suatu partai memperoleh suara sah lebih dari 3,5% untuk pemilu DPR RI, maka meski suaranya kurang dari 3,5% untuk pemilu anggota DPRD Provinsi atau DPRD Kabupaten/Kota, partai politik tersebut tetap berhak untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi untuk DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota karena dia dianggap telah lolos ambang batas secara nasional

Undang-Undang Pemilu juga harus ditopang oleh penyelenggara pemilu yang profesional, punya kapasitas dan tentu saja berintegritas. Serta keterlibatan pemilih dan peserta pemilu dalam kompetisi yang adil antar satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, jalan masih panjang untuk menuju pemilu yang mampu mewujudkan keadilan (electoral justice) bagi seluruh pemangku kepentingan. Hal itu adalah kerja keras kita bersama, pemilih, peserta pemilu, kandidat, penyelengara, maupun pemantau pemilu, tanpa terkecuali. Tidak bisa semata digantungkan pada kerangka hukum, sebab sebaik-baiknya aturan main, jika aktornya korup dan manipulatif maka selalu ada cara untuk menciderainya

Sarah Birch dari Universitas Essex dalam laporan hasil penelitiannya (diamembandingakan laporan pengamat mengenai 136 pemilu yang diselenggarakan antara tahun 1995 hingga 2006) menyatakan dan menemukan bahwa taktik yang paling sering digunakan untuk memanipulasi pemilu adalah dengan mengubah undang-undang pemilu sebagai sarana menghalangi kandidat lawan atau menciptakan peluang bagi tindak kecurangan pada konstitusi yang sulit ditembus. Namun, bicara tentang pemilu yang jujur, adil, dan demokratis, maka Undang-Undang Pemilu hanya salah satu saja dari instrumen yang ada untuk mewujudkannya. Pentingnya keterbukaan dan partisipasi masyarakat dalam setiap pembentukan undang-undang. Mengingat undang-undang disusun tidak untuk mengabdi kepada DPR dan Pemerintah yang telah diberikan mandat konstitusi, tetapi undang-undang sebagai hukum tertulis diadakan untuk kepentingan masyarakat lebih luas.







DAFTAR PUTAKA
Bernard L. Tanya, 2011. “Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama.” Yogyakarta : Genta Publishing.
Moh. Mahud MD,  2012. ”Membangun Politik,Hukum Menegakkan Konstitusi.” Depok : RajaGrafindo Persada.